Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag


       Ketika kapitalisme mengkampanyekan, bahwa pleasure atau kenikmatan sebagai awal dari pertumbuhan dan kemajuan peradaban. Maka dalam pangung kehidupan kini, di sini, di negeri ini, begitupun di berbagai belahan bumi ini.  Manusia lahir dan hadir menjadi kaum pemburu kenikmatan. Bagi mereka, tanpa kenikmatan, roda kehidupakan bukan hanya berjalan stagnan, namun bisa terhenti dan mati.


Dalam habituasi ini, setiap hari jutaan pemburu kenikmatan bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Ada yang memburu kenikmatan dengan menjadi kaum ekstravagan dan sosialita. Ada yang memburu melalui pintu seks, minuman keras, narkotika, dan judi. Ada juga yang memburu kenimatan di jalur hobi, seperti; olah raga, game online, kuliner, traveling, touring, kolektor barang-barang antik secara berlebihan. Bahkan tak terhitung yang berburu kenikmatan pada harta dan tangga-tangga kekuasaan.


Propaganda kaum kapitalis ini, telah menjadi jiwa zaman hingga menggurita pada banyak segmen kehidupan. Kutukan, cacian dan makian. Nampaknya tidak bisa menghentikan. Begitupun sanjungan dan pujian. Tidak lantas memberi solusi atas ragam masalah yang muncul menyertai kaum pemburu kenikmatan ini.


Dalam sebuah perjalan umrah, seorang jemaah bercerita tentang nasib koleganya. Dengan latar belakang masa muda yang ekstra ketat. Begitu orang tuanya wafat, hampir semua kenikmatan, terutama kenikmatan seks diburunya begitu nafsu. Tidak lama kemudian, ia bergabung dengan kaum LGBT. Setelah itu, tidak hanya karirnya yang berantakan. Diapun mulai mengidap berbagai penyakit kelamin yang sangat menakutkan.


Karena lepas kendali berburu kenikmatan di dunia Crypto, hingga mengalami kerugian dan meninggalkan hutang. Seorang mahasiswa senior di Perguruan Tinggi ternama di negeri ini, membunuh juniornya dengan sadis. Ia membutuhkan barang berharga milik korban untuk membayar hutang. Kini, perjara tengah menanti, bukan lagi ruang belajar yang bergengsi.

Sesungguhnya cukup banyak drama yang sama dengan lakon serupa. Karena itu, semua jenis kenikmatan yang datang dari luar, entah itu seks, harta atau jabatan ternyata sangat membutuhkan pengendalian. Dalam pengendalian, setiap kenikmatan, akan dinikmati dalam takaran yang proforsional, tidak kurang dan tidak lebih. Karena itu, semua kenikmatan itu menjadi anugerah terindah.


Namun bila sebaliknya, ketika diri tidak memiliki inner energy pengendali. Sebut saja berlebihan dan melampaui batas. Ragam kenikmatan itu, akan berevolusi secara regresif menjadi musibah. Bagi para pencita kenikmatan di jalur harta. Bila berlebihan, tidak sedikit orang tua yang memiliki asuransi kehidupan menggunung malah mencurigai dan bermusuhan dengan anak kandung. Harta warisan yang ditinggalakan, bukan menjadi pusaka, bahkan mewariskan petaka.


Belajar dari ragam drama hidup ini, begitu penting menemukan berbagai hal yang bisa mendidik diri untuk memiliki kekuatan kendali. Sebagai pelayan tamu Allah, inner energy untuk latihan kendali diri bisa ditemukan dalam ketentuan larang  ihram. Ketika seorang jemaah telah berihram, berlaku sejumlah larangan. Tidak boleh mencukur rambut, memakai wangi-wangian, melakukan hubungan suami isteri, rafas, fusuk, jidal, dll. Larangan ihram ini memiliki visi untuk disiplin mengendalikan diri.


Dalam hal kenikmatan, diri ini ibarat tanaman. Diberi pupuk terlalu banyak bisa mati. Tidak diberi sama sekali juga bisa mati. Sang tanaman, hanya membutuhkan pupuk dalam takaran yang wajar. Begitupun dengan kenikmatan. Dan larangan ihram mengajarkan takaran itu.     


Sumber Pikiran Rakyat tanggal 08 Agustus 2023