Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag


DALAM ziarah kesekian kalinya ke Gunung Uhud, catatan sejarah yang ditulis dengan tinta emas para pegiat kajian tarih Islam, seakan kembali membuat gunung yang dicintai Rasalullah itu berbisik.

Madinah tidak berhasil dikuasai pasukan kafir Mekah, kekalahan pada Perang Uhud, jelas telah menggoreskan luka yang teramat mendalam pada hati baginda Nabi.

Luka itu tergores bukan karena Nabi Muhammad harus kehilangan Sayidina Hamzah, paman yang amat beliau cintai dan para penghafal al-Quran, juga karena sebagian pasukan pemanah yang beliau percayai melanggar etika yang diinstruksikan. Padahal, hal itu terkait dengan strategi kemenangan.

Dalam upaya memenangkan pertempuran. Rasulullah menempatkan 50 pasukan pemanah di Jabal Rumat. Mereka mendàpatkan mandat sekaligus amanat penting. Amanat dimaksud, "Apapun yang terjadi, mereka tidak diperkenankan turun gunung sebelum Nabi sendiri memberi instruksi".

Dalam ketaatan atas perintah baginda Nabi, pasukan pemanah itu berhasil menumbangkan sekitar 2.000 orang pasukan kafir.

Di ujung kemenangan ketika melihat banyaknya musuh yang tumbang dan membawa rampasan perang, pasukan pemanah itu sebagiamana diinformasikan dalam QS Ali Iman ayat 152 terlihat tanaza’tum (perselisihan pendapat). Sebagian mereka menganggap perang telah berakhir. Oleh karena itu, mereka menghasut anggota pasukan lain untuk turun gunung. Sebagian yang lainnya tetap ingin bertahan menunggu instruksi beginda Nabi.

Namun akhir dari perdebatan itu adalah ashoitum. Mereka melanggar perintah Nabi karena yuridud dunya tertipu kemilau dunia, harta rampasan perang. 

Buah dari perilaku melanggar etika itu, pasukan Uhud harus menelan kekalahan yang cukup menggores luka hati Nabi juga umat Islam. Hal itu karena ketika mereka turun gunung, dari balik Gunung Uhud, Khalid bin Walid dan ribuan pasukan kafir lainnya melumat habis seluruh pasukan pemanah saat itu.

Berselisih untuk harta rampasan perang dan nir-etika terhadap instruksi Nabi, adalah pilihan salah yang dipraktikan pasukan pemanah yang berbuah nestapa. Peribahasa Sunda menyebut, pipilih neang nu leuwih koceprak meunang nu pecak.

Bila hidup disebut Marcus Tulius Cicero sebagai pilihan dan keberpihakan, maka pilihlah untuk tunduk patuh pada etika dan berpihaklah pada orang yang menjunjung tinggi etika.

Sebab, darinya akan mengalir kebaikan hakiki. Untuk mengetahui orang yang tunduk pada etika, Ceciro terkenal dengan jargonnya the good man speaks well.

Jauh sebelum Ceciro lahir, Socrates pernah mengkritik kaum junta brutal, elite oligarki Sparta yang demi kuasa mereka gemar mempraktikan perilaku menabrak etika. Dengan dalil an examined life is not wort living (kehidupan yang tidak dievaluasi bukanlah kehidupan sejati), Socrates menasihati elite oligarki Sparta bahwa "Pilihan dan keberpihakan mereka dalam memperkosa nilai, norma, moral, dan etika, ibarat menggali kuburan di usia dini". Ketika nasihat Socrates, disebut peramal Oracle Delplic sebagai tokoh yang paling bijaksana di Athéna saat itu, malah dianggap kaum oligarkis sekadar getaran dari gadfly of Athens (lalat penggangu Athena). Maka rezim oligarki Sparta itu pada ujungnya jatuh mengenaskan digulingkan oleh people power.

Bisikan yang mengusik hati dari sejarah Perang Uhud, bahwa ketika tidak memilih kebaikan dan tidak berpihak pada orang-orang baik, lalu dengan penuh angkuh gemar menabrak etika, bukanlah kemenangan yang diraih. Melainkan luka yang tergores dan nestapa dalam hina. Naudzubillah. ***


Sumber Pikiran Rakyat tanggal 13 Februari 2024