Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag


Sungguh anugerah teramat indah, ketika irama taqdir Allah telah menghantarkan siapa pun bisa ziarah ke Baitullah. Tidak semua hamba yang beriman Allah kehendaki hal itu. Ampunan dosa, ijabah do’a, dan dipenuhi segala pinta. Adalah jamuan teramat istimewa yang Allah berikan bagi hamba-Nya yang bertamu ke Baitulah.

            Bila mabrur, ibadah haji dan umrah menjadi sebuah perjalanan dalam merajut kebaikan, meghimpun kemuliaan dan mengumpulkan limpahan pahala. Tidak hanya itu, surga sebagai tempat kembali dambaan semua Insan, berada dalam genggaman. 

            Dalam bingkai kesadaran ini, sebagai upaya menjaga anugerah terindah sekaligus ekpresi kongrit dari rasa syukur, ada hal yang harus diwaspadai. Dalam Qs. Al-Kahfi: 103-104, Allah mengisyaratkan; “Katakanlah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya“. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia. Sedangkan mereka menyangka, bahwa mereka benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya.

            Dalam spirit ayat ini, begitu banyak manusia yang mengklim bahkan mendiclare, sudah berbuat baik. Namun di hadapan Allah, semuanya nihil. Kenapa hal ini bisa terjadi?, Mari kita renungi hadits berikut ini:

            Dari Tsauban ra, Nabi saw bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari ummatku, yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Lalu Allah menjadikannya sia-sia tidak tersisa sedikit pun”.

            Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka, sementara kami tidak mengetahuinya.”

            Rasulullah bersabda, “Sungguh mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang bila menyepi (tidak ada orang lain yang melihatnya) atas apa yang Allah haramkan, mereka melanggarnya.” (HR Ibnu Majah).

            Dalam kesendiarian, sejatinya hadir dalam diri, rasa; diperhatikan Allah (Qs. Al-Baqarah: 255), disertai Allah (Qs. Al-Hadid : 4), diawasi Allah (Qs.Qaaf: 18), disaksikan Allah (Qs. Yunus : 61), diketahui Allah (Qs. Al-Baqarah : 216), dan rasa tidak bisa bersembunyi dari Allah (Qs. Al-Ahzab: 51). Dengan balutan rasa ini, yang hadir  dalam diri adalah hasrat untuk membangun kemesraan dan taqarub dengan Allah.

            Namun bila hilang rasa itu semua, kesendirian sangat potensial menjadi momentum yang paling strategis bagi iblis untuk menyesatkan diri. Maksiat, melakukan pelanggaran, out of the track, adalah ragam perilaku tercela yang lahir dari ruang kesendirian. Bila demikian adanya, himpunan pahala haji dan umrah, akan sia-sia.

            Hal lain, yang bisa menghempaskan himpunan kebaikan dan pahala dari ibadah haji dan umrah adalah climb kesucian diri dan judge kotor pada saudra seiman yang berbuat dosa. Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajali, Rasulullah saw  bercerita, Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata; ‘Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampuni si fulan.’ Sementara Allah berfirman: ‘Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah memutuskan amal perbuatanmu.”

            Dalam hilangnya rasa disertai Allah di kesendirian dan hadirnya rasa paling suci karena sudah bertamu ke tanah suci. Himpunan pahala haji dan umrah menjadi sia-sia. Ibarat menabur garam di lautan. Naudzubillah.  



Sumber Pikiran Rakyat tanggal 19 Desember 2023