Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag
DALAM sebuah kesempatan menunggu jadwal keberangkatan kereta cepat dari Madinah menuju Mekah, seorang jemaah haji bertanya, “Apakah Rasulullah saw pernah marah?”
Jika melihat petunjuk QS Ali lmran 134, disebutkan di antara indikasi orang yang bertakwa adalah mereka yang pandai menahan amarah.
Rasul menegaskan, “Amarah itu datangnya dari setan" (HR Abu Daud Nomor 4.784). Di sisi lain, dari Abu Ad-Darda' ra, ia berkata, “Wahai Rasulullah tunjukanlah kepadaku amalan yang dapat memasukkan kami ke dalam surga. Rasulullah bersabda, ‘Janganlah marah, maka surga untukmu’.”(HR Thabrani).
Namun, dalam beberapa kasus tertentu, Rasul justru mengekspresikan kemarahannya. Suatu ketika, seorang lelaki menghadap Rasulullah saw sembari berkata, “Sesungguhnya aku memperlambat salat Subuh disebabkan Si Fulan (imam salat) selalu memanjangkan salat dengan kami.” Maka, tidaklah aku melihat Nabi marah dalam memberikan nasihat melebihi kemarahan beliau pada hari itu”.
Lalu beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya diantara kamu itu ada orang-orang yang membuat manusia lari (dari agama)! Siapa saja di antara kamu yang mengimami orang banyak, hendaklah dia meringkaskan. (Salat tidak panjang). Karena sesungguhnya di belakangnya (yang menjadi makmum), ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.” HR Muslim Nomor 466).
Dalam petunjuk hadis ini, Rasul marah kepada sahabat ketika mempraktikan salat sebagai ibadah utama menjadi ibadah yang memberatkan, hingga umat kehilangan rasa hormat kepada salat. Kemudian meninggalkan salat berjamaah di masjid bahkan meninggalkan salat sama sekali.
Ketika kepentingan kesalehan individual mengalahkan kepentingan kesalehan sosial dan ketika ajaran Islam yang ringan menjadi berat karena ego para pembawanya, maka Rasulullah marah.
Dijelaskan pula dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari Nomor 6.788 dan Muslim Nomor 1.688.Ada seorang wanita terhormat dari Bani Makhzumiyyah, klan terkemuka di suku Quraisy.
Perempuan itu tertangkap tangan mencuri dan dilaporkan kepada Rasulullah. Hal ini menjadi preseden buruk bagi Bani Makhzumiyah. Jika perempuan itu dihukum potong tangan oleh Rasulullah, wibawa klan terhormat di suku Quraisy itu akan jatuh.
Para tokoh Bani Makhzumiyaah mengatur siasat untuk melobi dan negosiasi dengan Rasulullah. Maka, diutuslah Usamah bin Zaid, sahabat yang dicintai oleh Rasulullah untuk menjadi negosiator.
Ketika Usamah menyampaikan hajatnya, agar perempuan itu tidak dijatuhi hukum potong tangan, Rasulullah marah kepada Usamah sembari berkata, “Apakah engkau akan memberi syafa'at kepada orang yang melanggar hukum Allah?”
Rasulullah saw pun berdiri dan berkhotbah, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika orang yang mulia dan memiliki kedudukan mencuri, maka mereka tidak dihukum. Namun jika yang mencuri orang lemah, rakyat biasa, maka mereka dihukum. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”.
Ketika dimainkan, apalagi ketika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, Rasul saw marah besar. Sebab, hukum hadir untuk keadilan dan kesetaraan semuanya. Bukan untuk kepentingan sekelompok saja.
Orang yang bertakwa harus memiliki kendali diri untuk bisa menahan amarah. Syekh Ja'far bin Muhammad berkata, “Amarah adalah kunci dari setiap keburukan". Namun dalam kasus tertentu dan dalam dosis yang tepat kita boleh mengekspresikan amarah.***
Sumber Pikiran Rakyat tanggal 21 November 2023