Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag
Dalam risalahnya tentang haji, Ibnu Hambali (2018) menarik simpulan, bahwa perjalanan ibadah haji mengajarkan tentang tiga hal penting; membuka pikiran, mengkoneksikan hati dan produktif amal sholeh. Tiga hal ini, tidak hanya dibutuhkan untuk meraih kebahagiaan saat menjalan ibadah haji. Namun juga dibutuhkan untuk meraih kebahagiaan pada perjalanan hidup berikutnya.
Perjalanan hidup manusia, diyakinkan para ulama sangat berat. Disimpulkan demikian, sebab segalanya dalam hidup ini akan dipinta pertanggung jawaban. Jangankan mereka yang memliki jabatan, yang tidak memiliki jabatan sekalipun akan dipinta pertanggung jawaban. Jangankan mereka yang kaya raya, yang miskin papa sekalipun akan dipinta pertangung jawabaan. Jangankan mereka yang bahagia dan sejahtera, mereka yang berbalut derita sekalipun akan dipinta pertanggung jawaban. Allah menegaskan, segalanya yang terkait dengan hidup akan Allah pinta pertanggung jawabannya (Qs. Al-Isra:36).
Demi kebahagiaan, tentu saja seberat apapun hidup ini harus dinikmati. Sebab sebanyak sepuluh kali dalam adzan, lima kali dalam iqomah, total genderal sebanyak lima belas kali dalam sehari semalam, melalui lisan para muadzin Allah menyeru dengan redaksi hayya alal falah, mari kita meraih kebahagiaan.
Untuk menikmati hidup, tentu saja sangat dibutuhkan pikiran yang terbuka. Kata kawan-kawan yang berpikiran bening, “Pikiran itu ibarat parasut, ia akan berfungsi manakala terbuka." Bukalah oleh pikiran, bahwa segalanya dalam hidup ini tidak ada yang abadi. Dalam Qs. An-Nahl ayat 96, Allah menegaskan, “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allahlah yang kekal abadi”.
Segala yang dimiliki, sebut saja; harta, tahta, wanita, kolega, dll, semuanya tidak ada yang abadi. Hidup ini begitu terasa berat, ketika hari ini kaya raya, memiliki tahta, ditemani wanita yang dicinta, dan dibersamai kolega yang setia. Lalu kita ingin selamanya demikian. Itu tidak mungkin, sebab dalam hidup ini tidak ada yang abadi.
Berikutnya, beratnya hidup ternyata sangat membutuhkan hati yang terkoneksi dengan yang Ilahi. Dalam koneksitas dengan Ilahi, hati manusia menjadi tenang (Qs. Ar-Ra’du :28). Bila hati tenang, maka pikiran akan terang. Dalam tenangnya hati dan terangnya pikiran, segalanya akan dimenangkan.
Dalam Qs Ali Imran ayat 101, Allah menegaskan, “siapa saja yang hatinya terkoneksi dengan Allah, Maka ia akan ditunjukan pada jalan yang lurus”. Jalan lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang diberikan nikmat kepada mereka, yakni; para Nabi, shiddqien (ulama), syuhada dan sholihin. Bila hati terkoneksi dengan Yang Ilahi, hidup yang berat ini akan bertabur kenikmatan.
Agar bertabur kenikmatan, berikutnya hidup ini menghajatkan produktivitas dalam kebaikan. Sebab dalam Kebaikan yang diproduksi dan direproduksi akan terbangun optmisme. Dalam Qs. Al-Baqarah ayat :122, Allah berfirman, “Tidaklah demikian, siapa saja menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Dalam spirit ayat ini, setiap kebaikan yang diproduksi akan menghindarkan pelakunya dari ragam ketakutan dan kesedihan. Dengan begitu seberat apapun beban hidup, ia akan menjadi muara kenikmatan. Disisi lain dalam Qs. Al-A’raf:56, Allah menegskan, “Sungguh rahmat Allah itu sangat dekat dengan orang-orang yang produktif dalam kebaikan”.
Penulis adalah Dewan Penasihat Masjid Besar Al-Inayah dan Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung
Sumber Pikiran Rakyat tgl 25 Juli 2023