Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag

Di era ketersambungan iformasi yang teramat tinggi (hyperconectivity) seperti sekarang ini, internet menjadi semacam lifeblood, darah atau nyawa yang masuk, merasuk dan menusuk seluruh jantung kehidupan. Dari ekonomi, politik, sosial, budaya, seni, tanpa kecuali agama.

             Di era ini, pikiran manusia acapkali dihadapkan pada banjir bandang informasi. Namun teramat disayangkan, bukan hanya informasi mencerahkan dan mencerdaskan yang didapatkan. Tetapi tidak sedikit justeru dibanjiri informasi yang mengadvokasi lahirnya apa yang disebut Freud sebagai Energi libido seksual; Kristeva Energi libido kejahatan; Baundriland Energi kedangkalan; Kaplan dorongan hasrat sadisme, atau apa yang disebut Lyotard sebagai Ekonomi libido.

             Karena itu, ada hal paradoks yang seringkali menimpa pikiran manusia hari ini. Di satu sisi, dibanjiri informasi, namun di sisi lain justeru miskin ideasi. Fakta ini terjadi, diduga kuat karena pikiran manusia sudah terlalu banyak sampah dan polusi yang mengotori sekaligus mengkonstaminasi. Padahal kata Imam Al-Ghazali, “Pikiran adalah pasukan yang paling kuat dalam diri setiap ummat”. Meski pikiran bukan penentu, namun pikiran adalah supleyer yang paling hebat dalam mempengaruhi hati untuk mengambil suatu keputusan.

             Sekaitan dengan itu, banyak yang berpandangan bahwa hidup kita dibentuk oleh pikiran. Kita adalah apa yang kita pikirkan, to know is to be. Karena itu, bila pikiran posistif, maka hidup akan positif. Namun bila negatif, maka hidup akan negatif. Bila di pikiran banyak sampah, maka hidup akan nyampah. Pikiran ibarat kaca mata. Bila kotor, maka segala yang dilihatnya menjadi kotor. Karena itu persepsi tentang sesuatu yang dilihat pun akan ikut-ikutan kotor. Bila begitu, sang perilaku akan menjadi kotor.

             Dalam bingkai kesadaran ini, ketika perjalan ibadah haji dan umrah. Sejatinya pikiran jemaah itu jernih, bening, dan bebas polusi. Tidak boleh ada sedikitpun debu yang mengotori apalagi mengkonstaminasi. Sebab dalam pendakiaan untuk bertamu dan bertemu dengan Allah, sangat dihajatkan hadirnya ketengan. Sementara ketenangan itu sendiri, bukan dalam pikiran (peace of mind), tetapi datang dari pikiran (peace from mind).

             Diantara debu yang kerap kali mengotori pikiran jemaah, hingga hilang ketenangan dalam perjalan ibadah haji dan umrah, adalah negative thinking.  Pikiran ini kerap muncul otomatis dalam merespon sesuatu dengan label negatif karena dorongan habituasi. Cara kerja pikiran negatif adalah obstructive, menghalang-halangi diri untuk melakukan kebaikan. Banyak jemaah yang sudah punya rencana kebaikan di tanah suci, namun tiba-tiba menjadi malas karena dihalang-halangi oleh pikirannya sendiri. Setelah itu, pikiran negatif melakukan plausible, mencari alasan yang masuk akal untuk justifikasi kemalasan.

             Pikiran negatif lazimnya bermula dari kegemaran dalam mencari kambing hitam. Pikiran ini menemukan tempat yang paling nyaman pada kebiasaan terlalu dini dalam menarik kesimpulan dan terlalu akut dalam logika hitam-putih. Berikutnya diperparah oleh catastrophizing, yakni cara berfikir yang menutup diri untuk melihat sisi positif sebuah masalah.

             Agar beroleh ketetangan dalam perjalanan, hinga bisa bertamu dan bertemu dengan Allah. Singkirkan negative thinking, karena ia debu yang mengotori. Caranya, lakukan inner ally, berkawan dengan diri sendiri dan hindari inner bully, menghina diri sendiri. Sebab dalam setiap sikap bersahabat dengan diri sendiri, pijar-pijar pikiran positif akan menghampiri. Selamat mencoba, anda pasti bisa.


Sumber Pikiran Rakyat tanggal 29 Agustus 2023